Jumat, 17 Juni 2011

Penyusutan Pemahaman Leksikon Bahasa Tradisi Lisan Pada Upacara Adat: Kajian Ekolinguitik Pada Komunitas Remaja di Padangsidimpuan Oleh: Yusni Khairul Amri STKIP "Tapanuli Selatan" Padangsidimpuan

Jurnal

PENYUSUTAN PEMAHAMAN LEKSIKON BAHASA
TRADISI LISAN PADA UPACARA PERKAWINAN
ADAT TAPANULI SELATAN
”Kajian Ekolinguistik pada Komunitas Remaja di Padangsidimpuan”
Oleh: Yusni Khairul Amri
STKIP "Tapanuli Selatan" Padangsidimpuan
Nort Sumatera
Masyarakat Tapanuli Selatan merupakan masyarakat yang masih menjalankan upacara adat untuk berbagai keperluan, karena komunitas tersebut masih meyakini bahwa adat istiadat memiliki sistem yang teratur dalam pelaksanaan upacara adat perkawinan, misalnya, selalu digunakan perangkat adat yang diungkapkan menggunakan media bahasa tradisi (adat) pada umumnya menggunakan media bahasa. Bahasa adat merupakan alat komunikasi yang digunakan oleh komunitas pemakainya yang terwujud melalui leksikon-leksikon bahasa adat.
Dilihat dari leksikon bahasa sebagai leksikon adat, bahasa merupakan sistem isyarat “language is a system of codes” yang digunakan oleh kelompok sosial berdasarkan konvensi antara-anggota kelompok masyarakat dalam satu kesatuan adat. Leksikon bahasa merupakan sesuatu yang konvensional bagi komunitasnya. Isyarat-isyarat yang digunakan harus merupakan kesepakatan bersama dari warga komunitas bahasa yang diejawantahkan dengan leksikon adat.
Komunitas penutur bahasa adat menggunakan tradisi lisan berwujud leksikon atau ungkapan yang sama untuk menyebut suatu keadaan atau ungkapan yang sama untuk menyebut sesuatu keadaan atau untuk penamaan sesuatu hal yang disebabkan oleh keperluan, keadaan di lingkungannya.
Bahasa isyarat (silent language, gesture) memiliki substansi utama yaitu gerak tubuh yang memberikan isyarat bermakna (non-vocalic, non-orthographic) namun dalam berkomunikasi, bahasa isyarat dilihat dari pengiriman isyarat (code-sender) dan penerima isyarat (code-receiver). Menurut Sapir (1921), Bahasa adalah murni kemanusiaan (purely humane) dan merupakan jalur non-instingtif (non-instinctive network) untuk mengkomunikasikan ide, emosi, kehendak, harapan dan cita-cita dengan memanfaatkan secara sengaja sistem yang dihasilkan oleh isyarat-isyarat bahasa dan kebahasaan (language and linguistic codes).
Sejalan dengan Sapir, Halliday (1978) menyatakan bahwa bahasa merupakan semiotik sosial. Semiotik sosial menurut Sinar (2003) adalah sistem makna yang direalisasikan melalui sistem linguistik, yang terwujud dengan penggunakan dengan melalui leksikon pada upacara adat berbentuk tradisi lisan.
Tradisi lisan pada upacara adat di Tapanuli Selatan digunakan untuk berbagai hal yang menyangkut hidup dan kehidupan komunitas pemiliknya. Tradisi lisan yang digunakan pada upacara adat merupakan kearifan lokal (local wisdom) karena, berfungsi mengatur sistem nilai, pengetahuan tradisional (local knowledge), hukum, pengobatan, sistem kepercayaan dan religi, begitu pula pada upacara adat perkawinan.
Realitas di masyarakat menunjukkan bahwa, para penutur dan komunitas tradisi lisan semakin berkurang . Hal ini akibat proses pewarisan secara alamiah tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan, sementara perubahan kebudayaan berjalan dengan cepat. Dihadapkan pada kenyataan ini, satu-satunya yang penting dalam upaya menjaga tradisi lisan pada upacara adat sebagai pengetahuan pada masa sekarang dan akan datang adalah sistem pewarisan adat istiadat dan budaya Tapanuli Selatan.
Adat istiadat dan budaya Tapanuli Selatan pada khususnya dan budaya Batak pada umumnya melakukan upacara perkawinan dengan tradisi lisan. Tradisi lisan di Tapanuli Selatan merupakan kegiatan yang utama dalam melakukan upacara perkawinan adat istiadat Tapanuli Selatan seperti: martahi, panaek gondang, marosong-osong, maralok-alok, magupa, haroan boru, malehen mangan, dan lain-lain.
Upacara adat perkawinan merupakan budaya yang diyakini masyarakat pemakainya dan sebagai bagian yang harus dijalankan bila melakukan kegiatan upacara adat perkawinan, walaupun besar kecilnya upacara adat perkawinan disesuaikan dengan kemampuan finansial pemilik hajat perkawinan tersebut, oleh karena itu besar kecilnya upacara adat perkawinan tidak mengurangi nilai-nilai pelaksaan upacara adat perkawinan tersebut.
Upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan dalam pelaksanaan tradisi tersebut, sebagian besar dilakukan dengan menggunakan bahasa lisan. Maka tadisi lisan tersebut tidak dapat dipisahkan dari awal hingga akhir upacara adat perkawinan tersebut. Tetapi tradisi lisan pada upacara perkawinan adat tersebut mulai mengalami kemunduran pengetahuan tentang leksikon bahasa tradisi lisan, yang disebabkan oleh faktor agama, financial, ekologi lingkungan, dan pemahaman masyarakat tentang tradisi lisan pada upacara adat perkawinan.
Sehingga harus diakui bahwa upaya pengembangan pengetahuan masyarakat tentang tradisi lisan pada upacara adat istiadat, belum dikembangkan melalui jalur pendidikan sehingga tradisi lisan pada upacara adat istiadat dan budaya Tapanuli Selatan/ Mandailing kian terabaikan padahal mengandung nilai-nilai adat dan tradisi yang tidak dipelajari.
Adat istiadat mengandung nilai-nilai adat tradisi yang kaya makna itu, karena tidak pernah dipelajari akhirnya menjadi terlupakan. Akibatnya generasi muda Mandailing/ Tapanuli Selatan pun berpaling kepada nilai-nilai Barat yang membuatnya terasing dan kehilangan kepribadian (H. Pandapotan Nasution, 2005; 483).
Hal tersebut sesuai dengan yang dinyatakan sinar (2010: 70) bahwa banyak bahasa daerah di Indonesia berada diambang kritis, semakin sulit untuk “hidup”, bertahan, berfungsi, dan terwaris secara utuh. Banyak nilai yang tergusur dan punah. Belum lagi dengan ancaman hegemoni dan dominasi beberapa bahasa internasional, regional, dan nasional, semakin mendesak bahasa-bahasa minoritas.”.
Begitu pula pemikiran H. Pandapotan Nasution, “Tidak sedikit adat dan pola-pola tradisi masyarakat disebabkan karena hantaman palu pembangunan yang dilancarkan dengan semangat kapitalisme yang tanpa moral, ekologi, hutan dan tanah adat digusur demi pembangunan.(2005: 485).
Dari beberapa teori yang menjadi rujukan dalam penelitian ini maka penelitian Leksikon merupakan komponen bahasa yang memuat informasi tentang makna. Sejalan dengan itu Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan leksikon sebagai kosakata; komponen bahasa yang memuat semua informasi tentang makna pemakaian kata dalam bahasa; kekayaan kata yang dimiliki suatu bahasa (2001: 805).
Sibarani menyebutkan, “Leksikon mencakup komponen yang mengandung segala informasi tentang kata dalam suatu bahasa seperti perilaku semantic, sintaksis, morfologis, dan fonologisnya, sedangkan perbendaharaan kata lebih ditekankan pada kekayaan kata yang dimiliki seseorang atau suatu bahasa.” (1997: 4).
Penjelasan di atas dapat dirarik kesimpulan leksikon yaitu, komponen bahasa yang memuat semua informasi tentang makna pemakaian kata dalam bahasa seperti perilaku semantik, sintaksis, morfologis, dan fonologisnya atau perbendaharaan kata lebih ditekankan pada kekayaan kata yang dimiliki seseorang atau suatu bahasa suatu bahasa

2.1 Ekolinguistik
Ekolinguistik mengkaji interaksi bahasa dengan ekologi pada dasarnya ekologi merupakan kajian saling ketergantungan dalam suatu sistem. Ekologi bahasa dan ekologi memadukan lingkungan, konservasi, interaksi, dan sistem bahasa. Jadi pendekatan ekolinguistik digunakan dalam penelitian ini, karena konsep-konsep ekologis dalam bahasa adat istiadat Tapanuli Selatan akan tersingkap. Lebih luas lagi, konsep-konsep sosialkultural, historis demografis, filosofis religius, dan kolektif keetnikan pada upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan secara keseluruhan akan tergambar.
Istilah ekologi pertama kali diperkenalkan oleh Ernst Haeckel (1834- 1914). Ekologi berasal dari bahasa Yunani oikos yang berarti house, man’s immediate suroundings. Ricklefs (1976:1) mendefinisikan ekologi sebagai berikut.
Ecology is the study of plants and animas, as individuals and together in populations and biological communities, in relation to their environments-the physical, chemical, and biological characteristics of their surroundings.

Pengertian ekologi bahasa menurut Haugen, adalah
Language ecology may be defined as the study of interactions between any given language and its environment (Haugen, 1972, dalam Peter, 1996: 57).

Ekologi merupakan cabang ilmu yang mempelajari bagaimana makhluk hidup dapat mempertahankan kehidupannya dengan mengadakan hubungan antar makhluk hidup dan dengan benda tak hidup di tempat hidupnya atau lingkungannya. Ekologi bahasa merupakan interaksi antara bahasa yang sudah ada dan lingkungannya (masyarakat dan komunitas yang memakai bahasa tersebut atau sosiolinguistik). Sehingga parameter ekologis seperti keterhubungan, lingkungan lingkungan dan keberagamannya. Degradasi lingkungan diangkat menjadi kepedulian lingustik, yang berimplikasi pendekatan yang berbeda yang menjembatani studi bahasa dengan lingkungan dijadikan suatu kesatuan walaupun masih ada perbedaan pada ekolinguistik.
Ekolinguistik, ilmu pengetahuan antardisiplin ilmu, merupakan sebuah payung bagi semua penelitian tentang bahasa (dan bahasa-bahasa) yang dikaitkan sedemikian rupa dengan ekologi seperti yang dikatakan oleh Fill (1993:126) dalam Lindo & Bundsgaard (eds.) (2000), mendefinisikan ekolinguistik sebagai berikut.
Ecolinguistics is an umbrella term for ‘[…] all approaches in which the study of language (and languages) is in any way combined with ecology’.

Demikian pula, Mühlhäusler, dalam salah satu tulisannya yang berjudul Ecolinguistics in the University, menyebutkan
Ecology is the study of functional interrelationships. The two parameters we wish to interrelate are language and the environment/ecology. Depending on whose perspective one takes one will get either ecology of language, or language of ecology. Combined they constitute the field of ecolinguistics. Ecology of language studies the support systems languages require for their continued wellbeing as well as the factors that have affected the habitat of many languages in recent times (p.2)

Crystal (2008: 161-162) dalam kamus A Dictionary of Linguistics and Phonetics 6th Edition, menjelaskan bahwa
ecolinguistics (n.) In linguistics, an emphasis-reflecting the notion of ecology in biological studies-in which the interaction between language and the cultural environment is seen as central; also called the ecology of language, ecological linguistics, and sometimes green linguistics. An ecolinguistic approach highlights the value of linguistic diversity in the world, the importance of individual and community linguistic rights, and the role of language attitudes, language awareness, language variety, and language change in fostering a culture of communicative peace.

Pembicaraan di antara para pakar bahasa tentang definisi ekologi bahasa, ekolinguistik atau linguistik hijau di dalam konteks khusus ini berhubungan dengan pembatasan terhadap obyek kajian ekolinguistik. Pakar-pakar di atas menekankan tujuan mereka kepada kesadaran meningkatkan kepedulian atas masalah-masalah yang direfleksikan secara ekologis yang ada hubungannya dengan gejala-gejala bahasa-bahasa dan ekologi dari perspektif yang lebih luas.
Sudut pandang mereka bahwa, teori ekologi dan bahasa saling berhubungan. Pandangan terhadap lingkungan yang dibentuk (dan membentuk) semua hubungan antar pesona bahasa yang sangat penting merupakan bagian dari masalah ekologi. Konsepsi/ pandangan bahasa dan ilmu bahasa juga menunjukkan bahwa bahasa (baik yang tertulis maupun lisan) dan lingkungan dianggap sebagai tujuan-tujuan kajian yang potensial.
Kajian ekolinguistik menghubungkan dimensi biologis, sosiologis, dan ideologis dalam bahasa hubungan ketiga model tersebut dapat digambarkan menurut model Bang & Døør’s (1995: 47) dialoque Model dalam Jeppe Bundsgaard & Sune Steffensen (2000: 10): Tradisi lisan pada upacara perkawinan adat daerah di Padangsidimpuan merupakan suatu kebiasaan yang masih ada di tengah-tengah masyarakat, karena masih kerap terselenggara dengan baik upacara perkawinan adat. Perubahan-perubahan yang terjadi pada tradisi upacara perkawinan adat, akibat perkembangan zaman, sehingga tradisi masyarakat yang menjadi kebiasaan tersebut sedikit demi sedikit mulai disederhanakan dan terkikis. Hal itu karena lingkungan sebagai sumber kehidupan begitu pula berubahnya fungsi lingkungan yang menjadi sentra kehidupan, perekonomian, lahan pemukiman, sosial.
Begitu pula faktor agama, financial, dan efektifitas waktu, sehingga penyelenggaraan upacara perkawinan adat mulai mengalami dekadensi agar dianggap lebih sederhana dan simpel. Akibat hal tersebut, banyak leksikon lingkungan tidak akan dipergunakan lagi karena hal tersebut telah hilang seiring dengan hilangnya lingkungan dan faktor lainnya.
Begitu pula pada tradisi lisan pada upacara adat di Padangsidimpuan, setelah dianalisis terjadi penyusutan pemahaman leksikal remaja terhadap masuknya leksikon yang berasal dari lingkungan sebanyak 272 kata. Analisis data meliputi 16 kelompok yaitu: 1) leksikon tumbuh-tumbuhan; 2) leksikon alam; 3) leksikon alat musik; 4) leksikon pronomina; 5) leksikon pronominal kekerabatan; 6) lesikon pronomina raja/ adat; 7) leksikon bahasa adat; 8) leksikon ukuran waktu; 9) leksikon ukuran tempat dan arah; 10) leksikon penghitungan/ angka; 11) leksikon ukuran sifat; 12) leksikon ukuran bentuk; 13) leksikon ukuran tokoh/ status kekeluargaan; 14) leksikon hewan; 15) leksikon warna; 16) leksikon tumbuhan pada frase dan klausa.
Penyusutan pemahaman leksikon bahasa tradisi lisan pada upacara adat Tapanuli Selatan dan telah diujikan kepada responden remaja di setiap kecamatan Kota Padangsidimpuan, yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, maka dapat diambil simpulan sebagai berikut:
1. Rata-rata penguasaan pemahaman remaja terhadap konsepsi makna leksikal hanya 42,42%. Penyusutan 23 leksikon tumbuh-tumbuhan sebesar 57,58%.
2. Pemahaman leksikon alam sebanyak 3406 orang dari 6960 jawaban yang seharusnya, dari 29 kosakata yang diujikan, rata-rata penguasaan pemahaman makna leksikal alam hanya 48,93%. Dengan demikian, penyusutan leksikon alam di Padangsidimpuan sebesar 51,07%.
3. Leksikon alat musik tradisional yang dapat dipahami 240 orang saja dari 1920 jawaban remaja yang seharusnya, dari 8 kosakata yang diujikan, rata-rata penguasaan hanya 12,50%, dengan penyusutan Leksikon alat musik tradisional di Padangsidimpuan sebesar 87,50%.
4. Keseluruhan Leksikon pronomina yang dipahami konsepsinya sebanyak 3044 orang dari 5520 jawaban yang seharusnya, dari 29 kosakata rata-rata penguasaan remaja hanya 55,14%, penyusutan Leksikon pronomina di Padangsidimpuan sebesar 44,86%,
5. Konsepsi leksikon pronomina kekerabatan yang dipahami sebanyak 2365 dari 5280 jawaban. Leksikon pronomina kekerabatan hanya 22 kosakata, dengan rata-rata penguasaan hanya 44,79, penyusutan Leksikon pronomina kekerabatan di Padangsidimpuan sebesar 55,21%.
6. Pemahaman leksikon pronomina raja/ adat dapat dipahami konsepsinya sebanyak 1702 orang saja dari 4560 jawaban yang seharusnya. Kosakata sebanyak 19 yang diujikan, rata-rata penguasaan hanya 37,32%, penyusutan Leksikon pronomina raja/ adat di Padangsidimpuan sebesar 62,68%.
7. Leksikon bahasa adat yang dapat dipahami konsepsinya sebanyak 2361 orang saja dari 9360 jawaban yang seharusnya, dari 39 kosakata yang diujikan, rata-rata penguasaan pemahaman remaja hanya 25,22%, dengan penyusutan Leksikon bahasa adat di Padangsidimpuan sebesar 74,78%.
8. Keseluruhan pemahaman leksikon ukuran waktu/ cuaca yang dipahami 2464 remaja saja dari 3600 jawaban. kosakata yang diujikan 15, rata-rata penguasaan 68,44%, dengan demikian penyusutan di Padangsidimpuan sebesar 31,56%.
9. Keseluruhan pemahaman Leksikon penunjuk tempat/ arah yang dapat dipahami konsepsinya sebanyak 2008 orang dari 3120 orang jawaban yang seharusnya, dari 13 kosakata yang diujikan rata-rata penguasaan hanya 64,35%. penyusutan leksikon penunjuk tempat/ arah di Padangsidimpuan sebesar 35,65%.
10. Leksikon perhitungan/ angka yang dipahami konsepsinya sebanyak 3733 orang dari 5520 jawaban responden yang seharusnya, dari 23 kosakata rata-rata penguasaan hanya 67,62%, dengan penyusutan leksikon perhitungan/ angka di Padangsidimpuan sebesar 32,38%.
11. Pemahaman leksikon ukuran sifat sebanyak 1023 orang dari 2160 jawaban, dari 9 kosakata yang diujikan, rata-rata penguasaan hanya 47,36%, dengan penyusutan leksikon ukuran sifat di Padangsidimpuan sebesar 52,64%.
12. Keseluruhan pemahaman leksikon ukuran bentuk yang dipahami sebanyak 577 orang dari 1200 jawaban, dengan 5 kosakata yang diujikan, rata-rata penguasaan 48,08%, penyusutan konsepsi leksikon ukuran bentuk sebesar 51,92%.
13. Leksikon ukuran tokoh/ status kekeluargaan yang dapat dipahami konsepsinya sebanyak 574 orang dari 1920 jawaban remaja yang seharusnya. Kosakata yang diujikan hanya 8, rata-rata penguasaan 29,89%. Penyusutan leksikon ukuran tokoh/ status kekeluargaan di Padangsidimpuan sebesar 57,58%.
14. Pemahaman leksikon hewan sebanyak 1374 orang dari 2640 jawaban, dari 11 kosakata yang diujikan, rata-rata 52,04%, penyusutan leksikon hewan di Padangsidimpuan sebesar 47,96%.
15. Leksikon jenis warna yang dipahami konsepsinya sebanyak 288 orang dari 720 jawaban, rata-rata penguasaan leksikal jenis warna 40,002%. Penyusutan pemahaman leksikon jenis warna di Padangsidimpuan sebesar 60,00%.
16. Secara keseluruhan pemahaman leksikon pada frase dan klausa yang dipahami konsepsinya 995 orang dari 5280 jawaban yang seharusnya. kosakata yang diujikan 22 dengan rata-rata penguasaan 18,84%. penyusutan pemahaman leksikon pada frase dan klausa di Padangsidimpuan sebesar 81,16%.

KEGUNDAHAN ARIFIN C. NOER MELIHAT REALITAS SOSIAL DIEJAWANTAHKAN MELALUI KONFLIK BATIN TOKOH